Wednesday, January 13, 2010

Ketika wajah ini penat memikirkan dunia
Maka berwudhulah
Ketika tangan ini letih menggapai cita-cita
Maka bertakbirlah
Ketika pundak tak kuasa memikul amanah
Maka bersujudlah
Ikhlaskan semua dan mendekatlah pada-Nya
Mendekatlah pada Allah SWT lebih dekat
Agar Tunduk saat yang lain angkuh
Agar Teguh saat yang lain runtuh
Agar Tegar biarpun yang lain terlempar



www.dokternida.blogspot.com

Tuesday, December 1, 2009

I cried for my brother six times

*true story*

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning,dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.

"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"

Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ...

Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!" Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung.

Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, janganmenangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi." Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya?

Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya?

Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17tahun. Aku 20tahun.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!" Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"

Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."

Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.

"Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..." Ditengah kalimat itu ia berhenti.

Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."

Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer?

Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya.

"Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"

Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"

"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu
dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu.

Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.

Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.


Diterjemahkan dari : "I cried for my brother six times"-- Mr. Tai Meng
http://kask.us/2527294

copy paste dari facebook amanda mustika sari

Bangga Menjadi Ibu Rumah Tangga

Penulis: Ummu Ayyub
Muroja'ah: Ust Abu Ahmad


Hebat rasanya ketika mendengar ada seorang wanita lulusan sebuah
universitas ternama telah bekerja di sebuah perusahaan bonafit dengan
gaji jutaan rupiah per bulan. Belum lagi perusahaan sering menugaskan
wanita tersebut terbang ke luar negri untuk menyelesaikan urusan
perusahaan. Tergambar seolah kesuksesan telah dia raih. Benar seperti
itukah?


Kebanyakan orang akan beranggapan demikian. Sesuatu dikatakan sukses
lebih dinilai dari segi materi sehingga jika ada sesuatu yang tidak
memberi nilai materi akan dianggap remeh. Cara pandang yang demikian
membuat banyak dari wanita muslimah bergeser dari fitrohnya.
Berpandangan bahwa sekarang sudah saatnya wanita tidak hanya tinggal
di rumah menjadi ibu, tapi sekarang saatnya wanita `menunjukkan
eksistensi diri' di luar. Menggambarkan seolah-olah tinggal di rumah
menjadi seorang ibu adalah hal yang
rendah.

Kita bisa dapati ketika seorang ibu rumah tangga ditanya teman lama
"Sekarang kerja dimana?" rasanya terasa berat untuk menjawab, berusaha
mengalihkan pembicaraan atau menjawab dengan suara lirih sambil
tertunduk "Saya adalah ibu rumah tangga". Rasanya malu! Apalagi jika
teman lama yang menanyakan itu "sukses" berkarir di sebuah perusahaan
besar. Atau kita bisa dapati ketika ada seorang muslimah lulusan
universitas ternama dengan prestasi bagus atau bahkan berpredikat
cumlaude hendak berkhidmat di rumah menjadi seorang istri dan ibu bagi
anak-anak, dia harus berhadapan dengan "nasehat" dari bapak
tercintanya: "Putriku! Kamu kan sudah sarjana, cumlaude lagi! Sayang
kalau cuma di rumah saja ngurus suami dan anak." Padahal, putri
tercintanya hendak berkhidmat dengan sesuatu yang mulia, yaitu sesuatu
yang memang menjadi tanggung jawabnya. Disana ia ingin mencari surga.

Ibu Sebagai Seorang Pendidik

Syaikh Muhammad bin Shalih al
`Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa perbaikan masyarakat bisa
dilakukan dengan dua cara: Pertama, perbaikan secara lahiriah, yaitu
perbaikan yang berlangsung di pasar, masjid, dan berbagai urusan
lahiriah lainnya. Hal ini banyak didominasi kaum lelaki, karena
merekalah yang sering nampak dan keluar rumah. Kedua, perbaikan
masyarakat di balik layar, yaitu perbaikan yang dilakukan di dalam
rumah. Sebagian besar peran ini diserahkan pada kaum wanita sebab
wanita merupakan pengurus rumah. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah
subhanahu wa ta'ala yang artinya:

"Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian
berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu
dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan
Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa
kalian, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. "
(QS. Al-Ahzab: 33)

Pertumbuhan generasi suatu bangsa
adalah pertama kali berada di buaian para ibu. Ini berarti seorang
ibu telah mengambil jatah yang besar dalam pembentukan pribadi sebuah
generasi. Ini adalah tugas yang besar! Mengajari mereka kalimat Laa
Ilaaha Illallah, menancapkan tauhid ke dada-dada mereka, menanamkan
kecintaan pada Al Quran dan As Sunah sebagai pedoman hidup, kecintaan
pada ilmu, kecintaan pada Al Haq, mengajari mereka bagaimana beribadah
pada Allah yang telah menciptakan mereka, mengajari mereka
akhlak-akhlak mulia, mengajari mereka bagaimana menjadi pemberani tapi
tidak sombong, mengajari mereka untuk bersyukur, mengajari bersabar,
mengajari mereka arti disiplin, tanggung jawab, mengajari mereka rasa
empati, menghargai orang lain, memaafkan, dan masih banyak lagi.
Termasuk di dalamnya hal yang menurut banyak orang dianggap sebagai
sesuatu yang kecil dan remeh, seperti mengajarkan pada anak adab ke
kamar mandi. Bukan hanya sekedar supaya anak tau bahwa masuk kamar
mandi itu dengan
kaki kiri, tapi bagaimana supaya hal semacam itu bisa menjadi
kebiasaan yang lekat padanya. Butuh ketelatenan dan kesabaran untuk
membiasakannya.

Sebuah Tanggung Jawab

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan- Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan. " (QS. At Tahrim: 6)

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang artinya: "Peliharalah dirimu dan
keluargamu!" di atas menggunakan Fi'il Amr (kata kerja perintah) yang
menunjukkan bahwa hukumnya wajib. Oleh karena itu semua kaum muslimin
yang mempunyai keluarga wajib menyelamatkan diri dan keluarga dari
bahaya api neraka.

Tentang Surat At Tahrim ayat ke-6 ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
`anhu berkata, "Ajarkan
kebaikan kepada dirimu dan keluargamu." (Diriwayatkan oleh Al Hakim
dalam Mustadrak-nya (IV/494), dan ia mengatakan hadist ini shahih
berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim, sekalipun keduanya tidak
mengeluarkannya)

Muqatil mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah, setiap muslim
harus mendidik diri dan keluarganya dengan cara memerintahkan mereka
untuk mengerjakan kebaikan dan melarang mereka dari perbuatan maksiat.

Ibnu Qoyyim menjelaskan bahwa beberapa ulama mengatakan bahwa Allah
subhanahu wa ta'ala akan meminta pertanggungjawaban setiap orang tua
tentang anaknya pada hari kiamat sebelum si anak sendiri meminta
pertanggungjawaban orang tuanya. Sebagaimana seorang ayah itu
mempunyai hak atas anaknya, maka anak pun mempunyai hak atas ayahnya.
Jika Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Kami wajibkan kepada
manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya." (QS. Al Ankabut:
7), maka disamping itu Allah juga berfirman, "Peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang berbahan bakar manusia dan
batu." (QS. At Tahrim: 6)

Ibnu Qoyyim selanjutnya menjelaskan bahwa barang siapa yang
mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang bermanfaat baginya,
lalu ia membiarkan begitu saja, berarti telah melakukan kesalahan
besar. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua yang
acuh tak acuh terhadap anak mereka, tidak mau mengajarkan kewajiban
dan sunnah agama. Mereka menyia-nyiakan anak ketika masih kecil
sehingga mereka tidak bisa mengambil keuntungan dari anak mereka
ketika dewasa, sang anak pun tidak bisa menjadi anak yang bermanfaat
bagi ayahnya.

Adapun dalil yang lain diantaranya adalah firman Allah subhanahu wa
ta'ala yang artinya:

"dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang dekat." (QS asy Syu'ara': 214)

Abdullah bin Umar radhiyallahu `anhuma mengatakan bahwa Rasulullah
shalallahu `alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Kaum
lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya di rumah, dia bertanggung
jawab atas keluarganya. Wanita pun pemimpin yang mengurusi rumah suami
dan anak-anaknya. Dia pun bertanggung jawab atas diri mereka. Budak
seorang pria pun jadi pemimpin mengurusi harta tuannya, dia pun
bertanggung jawab atas kepengurusannya. Kalian semua adalah pemimpin
dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. " (HR. Bukhari 2/91)

Dari keterangan di atas, nampak jelas bahwa setiap insan yang ada
hubungan keluarga dan kerabat hendaknya saling bekerja sama, saling
menasehati dan turut mendidik keluarga. Utamanya orang tua kepada
anak, karena mereka sangat membutuhkan bimbingannya. Orang tua
hendaknya memelihara fitrah anak agar tidak kena noda syirik dan
dosa-dosa lainnya. Ini adalah tanggung jawab yang besar yang kita akan
dimintai pertanggungjawaban tentangnya.

Siapa Menanam, Dia akan Menuai Benih

Bagaimana hati seorang ibu melihat anak-anaknya tumbuh? Ketika
tabungan anak kita yang usia 5 tahun mulai menumpuk, "Mau untuk apa
nak, tabungannya? " Mata rasanya haru ketika seketika anak menjawab
"Mau buat beli CD murotal, Mi!" padahal anak-anak lain kebanyakan akan
menjawab "Mau buat beli PS!" Atau ketika ditanya tentang cita-cita,
"Adek pengen jadi ulama!" Haru! mendengar jawaban ini dari seorang
anak tatkala ana-anak seusianya bermimpi "pengen jadi Superman!"

Jiwa seperti ini bagaimana membentuknya? Butuh seorang pendidik yang
ulet dan telaten. Bersungguh-sungguh, dengan tekad yang kuat. Seorang
yang sabar untuk setiap hari menempa dengan dibekali ilmu yang kuat.
Penuh dengan tawakal dan bergantung pada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Lalu… jika seperti ini, bisakah kita begitu saja menitipkannya pada
pembantu atau membiarkan anak tumbuh begitu saja?? Kita sama-sama tau
lingkungan kita bagaimana (TV, media, masyarakat,…) Siapa lagi kalau
bukan kita, wahai para ibu -atau calon ibu-?

Setelah kita
memahami besarnya peran dan tanggung jawab seorang ibu sebagai
seorang pendidik, melihat realita yang ada sekarang sepertinya
keadaannya menyedihkan! Tidak semua memang, tapi banyak dari para ibu
yang mereka sibuk bekerja dan tidak memperhatikan bagaimana pendidikan
anak mereka. Tidak memperhatikan bagaimana aqidah mereka, apakah
terkotori dengan syirik atau tidak. Bagaimana ibadah mereka, apakah
sholat mereka telah benar atau tidak, atau bahkan malah tidak
mengerjakannya… Bagaimana mungkin pekerjaan menancapkan tauhid di
dada-dada generasi muslim bisa dibandingkan dengan gaji jutaan rupiah
di perusahaan bonafit? Sungguh! sangat jauh perbandingannya.

Anehnya lagi, banyak ibu-ibu yang sebenarnya tinggal di rumah namun
tidak juga mereka memperhatikan pendidikan anaknya, bagaimana
kepribadian anak mereka dibentuk. Penulis sempat sebentar tinggal di
daerah yang sebagian besar ibu-ibu nya menetap di rumah tapi sangat
acuh dengan pendidikan anak-anak
mereka. Membesarkan anak seolah hanya sekedar memberinya makan. Sedih!

Padahal anak adalah investasi bagi orang tua di dunia dan akhirat!
Setiap upaya yang kita lakukan demi mendidiknya dengan ikhlas adalah
suatu kebajikan. Setiap kebajikan akan mendapat balasan pahala dari
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak inginkah hari kita terisi dengannya?
Atau memang yang kita inginkan adalah kesuksesan karir anak kita,
meraih hidup yang berkecukupan, cukup untuk membeli rumah mewah, cukup
untuk membeli mobil mentereng, cukup untuk membayar 10 pembantu,
mempunyai keluarga yang bahagia, berakhir pekan di villa. Tanpa
memperhatikan bagaimana aqidah, bagaimana ibadah, asal tidak
bertengkar dan bisa senyum dan tertawa ria di rumah, disebutlah itu
dengan bahagia.

Ketika usia senja, mata mulai rabun, tulang mulai rapuh, atau bahkan
tubuh ini hanya mampu berbaring dan tak bisa bangkit dari ranjang
untuk sekedar berjalan. Siapa yang mau mengurus kita kalau
kita tidak pernah mendidik anak-anak kita? Bukankah mereka sedang
sibuk dengan karir mereka yang dulu pernah kita banggakan, atau
mungkin sedang asik dengan istri dan anak-anak mereka?

Ketika malaikat maut telah datang, ketika jasad telah dimasukkan ke
kubur, ketika diri sangat membutuhkan doa padahal pada hari itu diri
ini sudah tidak mampu berbuat banyak karena pintu amal telah ditutup,
siapakah yang mendoakan kita kalau kita tidak pernah mengajari
anak-anak kita?

Lalu…

Masihkah kita mengatakan jabatan ibu rumah tangga dengan kata `cuma'?
dengan tertunduk dan suara lirih karena malu?

Wallahu a'lam

Maroji':

1. Dapatkan Hak-Hakmu, Wahai Muslimah oleh Ummu Salamah as
Salafiyyah. Judul asli: Al-Intishaar li Huquuqil Mu'minaat
2. Mendidik Anak bersama Nabi oleh Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid.
Judul Asli: Manhaj At-Tarbiyyah An-Nabawiyyah lit-Thifl
3. Majalah Al Furqon Edisi: 8 Tahun
V/Rabi'ul Awwal 1427/April 2006


ps : Idealisme normatif atau realistiskah ditengah kejamnya fitnah
dunia ini, bagai buah simalakama

Copy paste dari facebooknya barkah muliawati

Friday, September 4, 2009

About Heroism

Taken From :
Get Ready to Get Pregnant

Michael C. Lu, MD, MPH

Director of UCLA preconception care clinic




the greatest gift of all

My patient Paula taught me what heroism is all about.

One Sunday afternoon when I was away, I got a call from Paula.

“Michael, you’ve got to help me,” she said, sounding distressed.

What’s going on?” I asked.

I’ve known Paula for a long time. She is a dear colleague and friend of mine. I had delivered her son J.J. three years before.

“I’m in the hospital,” she said. “I have severe preeclampsia and they want to do a c-section right away.”

At the time Paula was only 27 weeks pregnant with her second child. A baby born this premature can have a lot of long-term health problems and disabilities, including cerebral palsy and mental retardation. There was even a chance that a baby born this early might not survive.

“I don’t want a c-section right now,” Paula pleaded. “The baby is too premature.”

I called the perinatologist on-call. Paula’s preeclampsia was indeed very severe. Preeclampsia is a disease of pregnancy in which blood pressure goes up so high that it begins to cause damage to the body’s vital organs. The diagnosis is made with a blood pressure above 140 (systolic) over 90 (diastolic). Paula came in with a blood pressure of 180 over 110.

Of course, all the talk about an immediate c-section didn’t help the matter. She freaked out and her blood pressure shot up to 210 over 140. The perinatologist on-call wanted to do a c-section right away, but Paula refused. The perinatologist pleaded with me to talk some sense into Paula so she would accept a c-section.

I called Paula back. “Paula, we’ve got a problem.” I explained to her what could happen with a blood pressure this high. At 210/140, her brain could bleed and herniate. Her liver could rupture. Her kidneys could go into failure. Preeclampsia is an awful disease to get; it is a ticking time bomb. Preeclampsia is a leading cause of maternal death in the United States and around the world. It accounts for nearly 20 percent of all maternal deaths in the United States. I’ve seen four maternal deaths in my career; one of them was due to preeclampsia.

But I didn’t have to tell Paula all this. She was a doctor and knew preeclampsia only too well. She knew that her health, and possibly her life, was in jeopardy, but Paula wasn’t thinking about her own life. She was thinking about her baby—about the baby’s survival, and the possibility of a lifetime of health problems and disabilities from being born so premature.

Since I was coming back later that day, Paula and the perinatologist agreed to hold off the c-section until I returned. As soon as I got back to L.A., I went into the hospital to talk to Paula. After reviewing her vital signs and lab results, I walked into her room.

“I am so glad to see you,” Paula greeted me, a bit groggy from the magnesium infusion she was getting to prevent an eclamptic seizure.

I gave Paula a hug, sat down, and we talked for the next hour.

Walking into the room, I had already made up my mind what I was going to do. I was going to try to talk Paula into agreeing to an immediate c-section because the cure for preeclampsia is delivery of the baby and the placenta. Preeclampsia is a disease of the placenta. The placenta sends chemical messengers into the bloodstream (that’s why the disease used to be called “toxemia”—toxins in the blood) that initiate a cascade of biochemical reactions that can constrict and damage blood vessels, thereby causing high blood pressure. Impaired blood flow causes damage to the body’s vital organs, which can become permanent and irreversible if delivery is delayed for too long. Once the placenta is delivered, the disease process quickly reverses itself and the patient is cured. I was anxious to do the c-section because I took care of a patient who later died from severe preeclampsia during my residency training, and I didn’t want that to happen to my dear colleague and friend. Not under my watch.

By the time I walked out of Paula’s room, however, I had changed my mind. Instead of talking Paula into an immediate c-section, she talked me into waiting. What changed my mind?

Paula and I talked about a lot of things that day, but one thing she said really stood out in my mind.

“You would jump in front of an on-coming train to save Sasha if you had to, wouldn’t you?” Paula asked me. Sasha is my daughter. She and her younger sister Avery and my wife Jessie are the loves of my life. “Of course I would,” I answered. “Preelampsia is that on-coming train,” Paula said. “And I’m jumping in front of that train to save my baby.”

I will never forget that moment. There was an eerie calmness in Paula’s voice, the same kind of calmness that I’ve heard from patients with terminal cancer who’ve come to accept their imminent death. The magnesium hadn’t clouded her head; Paula knew exactly what she was doing. She knew she could go into kidney failure, her liver could rupture and her brain could herniate; there was even a chance she could die. But Paula was going to stare down the on-coming train for as long as she could. At 27 weeks, every day gained for the baby was a victory.

It became clear to me what I had to do. As Paula’s obstetrician my job was to push her out of the way of the on-coming train right before the train was about to hit her. Paula’s lood pressure had come down to 160 over 100 with blood pressure medications, which was still high, but in a range where I felt it was safe to wait. So I called off the c-section that day.

Paula’s pregnancy lasted another 21 days. She stayed in the hospital the entire three weeks. I monitored her vital signs and labs closely. We waited nervously for the on-coming train. We went from day to day, celebrating each day gained as a victory for the baby.

At 30 weeks, I heard bells and whistles coming loud and clear around the corner. Paula’s preeclampsia was worsening. Her kidneys started failing, and her blood pressure was getting out of control despite being maxed out on multiple blood pressure medications. So we went ahead with the c-section.

Paula delivered a baby girl weighing 2 12 pounds. Her blood pressure returned to normal within a few weeks of delivery, and her beautiful baby girl did remarkably well in the NICU and is completely healthy today, thanks in large part to those three extra weeks her mommy bartered with her own life and health.

“Giving birth is definitely a heroic deed,” Joseph Campbell wrote in the Power of Myth, “in that it is the giving over of oneself to the life of another.”

What Paula did was nothing short of heroic; it was an extraordinary act of self-sacrifice. As a doctor, Paula knew very well what she was doing. She chose to risk her own life for the health of her baby. But for Paula, this was no heroism. This was something that any mother would have done for her baby.

For the dads-to-be who are reading this book, some of you might have seen the movie John Q that came out in 2002. It was a cheesy movie, but it struck a chord deep within me as a dad. The story line is about a down-on-his-luck father (played by Denzel Washington) whose HMO insurance won’t cover his son’s heart transplant. He takes the hospital’s emergency room hostage until the doctors agree to perform theoperation. What about the heart? Where was he going to get a donor heart? It turned out that he was a match for his son, and so he was going to take his own life so that his son could have his heart. This is the stuff that makes great Hollywood melodrama, but there was something veryreal about it. This was something that any father would have done for his child. I’d gladly give my heart to Sasha or Avery if it means saving her life.

Most of us would jump in front of a train to save our kids. And most of us would readily give our hearts to our children so they could live. We’d give anything for their health. The good news is, as parents, you can give them good health. Not all of you can give your children a trust fund or down payment on their first house or a car for their sixteenth birthday, but all of you can give them the gift of health, which is worth more than any of these other gifts combined. Next to life, health is the greatest gift you can give your children.